Senin, 22 Juni 2015

PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM




MAKALAH

PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Di susun untuk memenuhi mata kuliah
ILMU PENDIDIKAN ISLAM
Yang di bina oleh Bapak: Zainuddin Syarif, DR. M.AG
STAINColor

Disusun oleh :
R. Ali Mahdum Dafir      (18201301030169)

JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDY BAHASA INGGRIS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN
2014/2015
 



KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. atas terselesaikannya makalah ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahlimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. Beserta seluruh keluarga, para sahabat, dan para pengikut beliau yang setia hingga akhir zaman.
Alhamdulillah wa syukurillah berkat Rahmat dan Hidayah Allah SWT, kami dapat menyelesaikan tugas makalah Ilmu Pendidikan Islam, yang membahas tentang Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam.
Ucapan terima kasih tak luput kami sampaikan pula kepada berbagai pihak yang terkait dalam penyusunan makalah ini. Terutama kepada Bapak Zainuddin Syarif, DR. M.AG sebagai dosen pengampu mata kuliah ILMU PENDIDIKAN ISLAM yang telah membina dan menuntun kami untuk bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis menyadari tiada gading yang tak retak, sehingga penulis berharap adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca budiman demi adanya peningkatan dalam makalah kami selanjutnya.
Terlepas dari banyaknya kekurangan yang ada, penulis berharap agar isi dari makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

“ Allahumma shalli’ala sayyidi muhammad”

Pamekasan, 15 Juni 2015

Penulis



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.......................................................................................... i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang............................................................................................. 1

2.      Rumusan masalah........................................................................................ 2

3.      Tujuan Masalah............................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A.    Pengertian  Peserta Didik............................................................................ 3

B.     Pengertian Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam..................................... 5

C.     Kebutuhan Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam ...................................  9

D.    Karakteristik Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam................................. 11

BAB III PENUTUP

Kesimpulan.................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
Pendidik dan peserta didik merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan Islam. Kedua komponen ini saling berinteraksi dalam proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan.
Demikian pula peserta didik, ia tidak hanya sekedar objek pendidikan, tetapi pada saat-saat tertentu ia akan menjadi subjek pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa posisi peserta didik pun tidak hanya sekedar pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima air kapan dan dimanapun. Akan tetapi peserta didik harus aktif, kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan gurunya, sekaligus dalam upaya pengembangan keilmuannya.
Pendidikan merupakan bimbingan dan pertolongan secara sadar yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik sesuai dengan perkembangan jasmaniah dan rohaniah ke arah kedewasaan. Peserta didik di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus dapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah sedangkan alam sekitarnya akan memberi corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan agama peserta didik.[1]
Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
 “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S Ar-Rum : 30)
Dilihat dari segi kedudukannya, peserta didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses pekembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisiten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya.[2] Dengan demikian, maka agar pendidikan Islam dapat berhasil dengan sebaik-baiknya haruslah menempuh jalan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan fitrah anak didik.
Berkaitan dengan hal di atas, maka peseta didik dalam pendidikan Islam memiliki aspek-aspek penting yang perlu kita kaji dan kembangkan dalam kajian pendidikan. Oleh karena itu, pada pembahasan kali ini kami akan menjelaskan tentang pengertian peserta didik dalam pendidikan Islam, kebutuhan-kebutuhan peserta didik, karakteristik peserta didik, dan sifat-sifat serta kode etik peserta didik dalam pendidikan Islam.
B.            Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud Peserta Didik ?
2.      Apakah yang dimaksud dengan Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam?
3.      Apa kebutuhan-kebutuhan Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam?
4.      Bagaimana karakteristik Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam?

C.           Tujuan
1.       Menjelaskan Apa yang dimaksud dengan Peserta Didik ?
2.       Menjelaskan Apa yang dimaksud dengan Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam?
3.       Menjelaskan Apa saja kebutuhan Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam?
4.       Bagaimana karakteristik Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam?


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Definisi Peserta Didik
Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun fikiran.[3]
Dalam istilah tasawuf peserta didik disebut dengan “murid” atau “thalib”. Secara etimologi murid berarti orang yang menghendaki. Sedangkan menurut arti terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan istilah thalib secara bahasa adalah orang yang mencari. Sedang menurut istilah tasawuf adalah penempuh jalan spiritual, di mana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk mencapai derajat sufi.[4]
Adapula penyebutan peserta didik dengan sebutan anak didik. Dalam persepektif filsafat pendidikan Islam, hakikat anak didik terdiri dari beberapa macam:
1.    Anak didik adalah darah daging sendiri, orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya maka semua keturunannya menjadi anak didiknya di dalam keluarga.
2.    Anak didik adalah semua anak yang berada di bawah bimbingan pendidik di lembaga formal maupun nonformal.
3.    Anak didik secara khusus adalah orang-orang yang belajar di lembaga pendidikan tertentu yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran dan berbagai hal yang berkaitan dengan proses kependidikan.[5]
Peserta didik secara formal adalah orang yang sedang berada pada fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun psikis.[6]
Menurut pasal 1 ayat 4 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.[7]
Dalam paradigma Pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya.[8]
Adapula yang mendefinisikan peserta didik adalah orang yang menuntut ilmu di lembaga pendidikan, bisa disebut sebagai murid, santri atau mahasiswa.[9]
Peserta didik adalah setiap manusia yang sepanjang hidupnya selalu dalam perkembangan. Kaitannya dengan pendidikan adalah bahwa perkembangan peserta didik itu selalu menuju kedewasaan dimana semuanya itu terjadi karena adanya bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh pendidik.[10]
Siswa atau peserta didik adalah salah satu komponen manusia yang menempati posisi sentral dalam proses belajar-mengajar, peserta didiklah yang menjadi pokok persoalan dan sebagai tumpuan perhatian. Di dalam proses belajar mengajar, siswa sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal. Peserta didik itu akan menjadi faktor “penentu”, sehingga menuntut dan dapat mempengaruhi segala sesuatu yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya.[11] Itulah sebabnya sisa atau peserta didik adalah merupakan subjek belajar.
B.            Definisi Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Dengan berpijak pada paradigma “belajar sepanjang masa”, maka istilah yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik dan bukan anak didik. Peserta didik cakupannya lebih luas, yang tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga pada orang-orang dewasa. Sementara istilah anak didik hanya dikhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak. Penyebutan peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya di sekolah (pendidikan formal), tapi juga lembaga pendidikan di masyarakat, seperti Majelis Taklim, Paguyuban, dan sebagainya.[12]
Secara etimologi, murid berarti “orang yang menghendaki”. Sedangkan menurut arti terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan thalib secara bahasa berarti orang yang mencari, sedangkan menurut istilah tasawuf adalah penempuh jalan spiritual, dimana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk mencapai derajat sufi. Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut peserta didik pada sekolah tingkat dasar dan menengah, sementara untuk perguruan tinggi lazimnya disebut dengan mahasiswa.[13]
Peserta didik adalah amanat bagi para pendidiknya. Jika ia dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya ia akan tumbuh menjadi orang yang baik, selanjutnya memperoleh kebahagiaan dunia dan akhiratlah kedua orang tuanya dan juga setiap mu’alim dan murabbi yang menangani pendidikan dan pengajarannya. Sebaliknya, jika peserta didik dibiasakan melakukan hal-hal yang buruk dan ditelantarkan tanpa pendidikan dan pengajaran seperti hewan ternak yang dilepaskan beitu saja dengan bebasnya, niscaya dia akan menjadi seorang yang celaka dan binasa.[14]
Sama halnya dengan teori barat, peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Definisi tersebut memberi arti bahwa peserta didik merupakan individu yang belum dewasa, yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah, dan umat beragama menjadi peserta didik masyarakat sekitarnya, dan umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.[15]
Dengan demikian dalam konsep pendidikan Islam, tugas mengajar, mendidik, dan memberikan tuntunan sama artinya dengan upaya untuk meraih surga. Sebaliknya, menelantarkan hal tersebut berarti sama dengan mejerumuskan diri ke dalam neraka. Jadi, kita tidak boleh melalaikan tugas ini, terlebih lagi Nabi bersabda[16]:
أَكْرِمُوْااَبْنَاءَكُمْ وَأَحْسِنُوْا اَدَبَهُمْ
“Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik” (hadits diketengahkan oleh Ibnu Majah 2/1211, tetapi Al-Albani menilainya dha’if)
Menurut Langeveld anak manusia itu memerlukan pendidikan, karena ia berada dalam keadaan tidak berdaya (hulpeoosheid).[17] Dalam Al-Quran dijelakan:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.(QS. An-Nahl: 78)
Peserta didik di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus dapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah sedangkan alam sekitarnya akan memberi corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan agama peserta didik.[18]
Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW., yang berbunyi:
مَامِنْ مَوْلُوْدٍ اِلَّايُوْلَدُعلَىَ الْفِطْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِ اَوْيُنَصِّرَانِهِ اَوْيُمَجِّسَانِهِ (رواه مسلم)
Artinya: “Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membaa fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada Allah), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani, Majusi (HR. Muslim)
Menurut hadis ini manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan; kemampuan itulah yang disebut pembawaan. Fitrah yang disebut di dalam hadis itu adalah potensi. Potensi adalah kemampuan; jadi fitrah yang dimaksud disini adalah pembawaan. Ayah-ibu dalam hadis ini adalah lingkungan sebagaimana yang dimaksud oleh para ahli pendidikan. Kedua-duanya itulah, menurut hadis ini, yang menentukan perkembangan seseorang.[19]
Manusia memepunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyak potensi yang dibawanya. Dalam garis besarnya, kecenderungan itu dapat dibagi dua, yaitu kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan menjadi orang yang jahat. Kecenderungan beragama termasuk ke dalam kecenderungan menjadi baik.[20]
Firman Allah dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum: 30)
Dari ayat dan hadits tersebut jelaslah bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah beragama, dan kemudian bergantung kepada para pendidiknya dalam mengembangkan fitrah itu sendiri sesuai dengan usia anak dalam pertumbuhannya. Dasar-dasar pendidikan agama ini harus sudah ditanamkan sejak peserta didik itu masih usia muda, karena kalau tidak demikian kemungkinan mengalami kesulitan kelak untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang diberikan pada masa dewasa. Dengan demikian, maka agar pendidikan Islam dapat berhasil dengan sebaik-baiknya haruslah menempuh jalan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan peserta didik, seperti disebutkan dalam hadits Nabi:
خَاطِبوُاالنَّاسَ عَلىَ قُلُوْبِهِمْ (الحديث)
“Berbicaralah kepada orang lain sesuai dengan tingkat perkembangan akalnya” (Al-Hadits)

C.           Kebutuhan-Kebutuhan Peserta Didik
Kebutuhan peserta didik adalah sesuatu kebutuhan yang harus didapatkan oleh peserta didik untuk mendapatkan kedewasaan ilmu. Kebutuhan peserta didik tersebut wajib dipenuhi atau diberikan oleh pendidik kepada peserta didiknya. Menurut Ramayulis, ada delapan kebutuhan peserta didik yang harus dipenuhi, yaitu:
a.         Kebutuhan Fisik
Fisik seorang anak didik selalu mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Proses pertumbuhan fisik ini terbagi menjadi tiga tahapan:
1)        Peserta didik pada usia 0-7 tahun, pada masa ini peserta didik masih mengalami masa kanak-kanak
2)        Peserta didik pada usia 7-14 tahun, pada usia ini biasanya peserta didik tengah mengalami masa sekolah yang didukung dengan peralihan pendidikan formal.
3)        Peserta didik pada usia 14-21 tahun, pada masa ini peserta didik mulai mengalami masa pubertas yang akan membawa kepada kedewasaan.[21]
b.        Kebutuhan Sosial
Adalah kebutuhan yang berhubungan langsung dengan masyarakat agar peserta didik dapat berinteraksi dengan masyarakat lingkungan. Begitu juga supaya dapat diterima oleh orang lebih tinggi dari dia seperti orang tuanya, guru-gurunya dan pemimpinnya. Kebutuhan ini perlu agar peserta didik dapat memperoleh kebutuhan ini perlu agar peserta didik dapat memperoleh  posisi dan berprestasi dalam pendidikan.[22]
c.         Kebutuhan untuk Mendapatkan Status
Dalam proses kebutuan ini biasanaya seorang peseta didik ingin menjadi orang yang dapat dibanggakan atau dapat menjadi seorang yang benar-benar berguna dan dapat berbaur secara sempurna di dalam sebuah lingkungan masyarakat
d.        Kebutuhan Mandiri
Kebutuhan mandiri ini pada dasarnya memiliki tujuan utama yaitu untuk menghindarkan sifat pemberontak pada diri peserta didik, serta menghilangkan rasa tidak puas akan kepercayaan dari orang tua atau pendidik karena ketika seorang peserta didik terlalu mendapat kekangan akan sangat menghambat daya kreativitas dan kepercayaan diri untuk berkembang
e.         Kebutuhan untuk berprestasi
f.         Kebutuhan ingin disayangi dan dicintai
g.        Kebutuhan untuk curhat
h.        Kebutuhan untuk memiliki filsafat hidup
Peserta didik memiliki beberapa dimensi penting yang mempengaruhi akan perkembangan peserta didik, dimensi ini harus diperhatikan secara baik oleh pendidik dalam rangka mencetak peserta didik yang berakhlak mulia dan dapat disebut insan kamil dimensi fisik (jasmani), akal, keberagamaan, akhlak, rohani (kejiwaan), seni (keindahan), sosial.
Di dalam proses pendidikan seorang peserta didik yang berpotensi adalah objek atau tujuan dari sebuah sistem pendidikan yang secara langsung berperan sebagai subjek atau individu yang perlu mendapat pengakuan dari lingkungan sesuai dengan keberadaan individu itu sendiri. Sehingga dengan pengakuan tersebut seorang peserta didik akan mengenal lingkungan dan mampu berkembang dan membentuk kepribadian sesuai dengan lingkungan yang dipilihnya dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya pada lingkungan tersebut. Adapun hal-hal yang harus dipahami adalah:
Ø  Kebutuhannya
Ø  Dimensi-dimensinya
Ø  Intelegensinya
Ø  Kepribadiannya.[23]

D.           Karakteristik Peserta Didik
Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah:
1.        Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh dilaksanakan dengan orang dewasa. Orang dewasa tidak patut mengeksploitasi dunia peserta didik, dengan mematuhi segala aturan dan keinginannya, sehingga peserta didik kehilangan dunianya.
2.        Peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin. Kebutuhan individu, menurut Abraham Maslow, terdapat lima hierarki kebutuhan yang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan tahap dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga diri; dan (2) metakebutuhan-metakebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri, seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya. Sekalipun demikian, masih ada kebutuhan lan yang tidak terjangkau kelima hierarki kebutuhan itu, yaitu kebutuhan akan transendensi kepada Tuhan. Individu yang melakukan ibadah sesungguhnya tidak dapat dijelaskan dengan kelima hierarki kebutuhan tersebut, sebab akhir dari aktivitasnya hanyalah keikhlasan dan ridha dari Allah SWT.
3.        Peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang disebabkan dari factor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang mempengaruhinya. Pesrta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. Sesuai dengan hakikat manusia, peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka pribadi peserta didik walaupun terdiri dari dari banyak segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa).
4.        Peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif. Setiap peserta didik memiliki aktivitas sendiri (swadaya) dan kreatifitas sendiri (daya cipta), sehingga dalam pendidikan tidak hanya memandang anak sebagai objek pasif yang bisanya hanya menerima, mendengarkan saja.
5.        Peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dalam mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implikasi dalam pendidikan adalah bagaimana proses pendidikan itu dapat disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan peseta didik. Kadar kemampuan peserta didik sangat ditentukan oleh usia dan priode perkembangannya, karena usia itu bisa menentukan tingkat pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik, baik dilihat dari dimensi biologis, psikologis, maupun dedaktis. [24]



 


BAB III
KESIMPULAN
1.        Peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun fikiran.
2.        Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
3.        Kebutuhan peserta didik yang harus dipenuhi, yaitu: kebutuhan fisik, kebutuhan social, kebutuhan untuk mendapatkan status, kebutuhan mandiri, kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan ingin disayangi dan dicintai, kebutuhan untuk curhat, kebutuhan untuk memiliki filsafat hidup.
4.        Karakteristik peserta didik diantaranya: (a) peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh dilaksanakan dengan orang dewasa, (b) peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin, (c) peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, (d) peserta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. (e) peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan, (f) peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dalam mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya.
5.        Sifat-sifat dan kode etik peserta didik dalam pendidikan Islam yaitu;  (1) belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT (2) mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (3) bersikap tawadlu’ (rendah hati) (4) menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.(5) mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah) (6) belajar dengan bertahap (7) belajar ilmu sampai tuntas. (8) mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari. (9) memprioritaskan ilmu diniyah. (10) mengenal nilai-nilai pragmatis (11) peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008).
Abu Ahmadi & Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarat : PT. Rineka Cipta, 2006).
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,  2008).
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991).
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009).
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan  (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008).
Jamal Abdul Rahman, Tahapan Mendidik Anak, Penerjemah : Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, (Bandung : Irsyad Baitus salam, 2008).
M. Nashir Ali, Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, (Jakarta: Mutiara, 1982).
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Kalam Mulia, Jakarta, 2006).
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis da Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers,2002).
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995).

Misbakhudinmunir.wodrpress.com.


[1] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), hlm. 170.
[2] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 144.
[3] Misbakhudinmunir.wodrpress.com.
[4] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008),  hlm. 104.
[5] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 88.
[6] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 77.
[7] Ibid, hlm. 77.
[8] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis da Praktis (Jakarta: Ciputat Pers,2002), hlm. 47.
[9] Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan  (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008),  hlm. 137.
[11] Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010),  hlm.111.
[12] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm. 103.
[13] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm. 104.
[14] Jamal Abdul Rahman, Tahapan Mendidik Anak, Penerjemah : Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, (Bandung : Irsyad Baitus salam, 2008), hlm. 16.
[15] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm 103.
[16] Jamal Abdul Rahman, hlm. 17.
[17] M. Nashir Ali, Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, (Jakarta: Mutiara, 1982), hlm. 93.
[18] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 170.
[19] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,  2008), hlm. 35.
[20] Ibid, hlm. 35.
[21] Abu Ahmadi & Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarat : PT. Rineka Cipta, 2006), hlm. 42.
[22] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006, hlm. 78
[23] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006, hlm. 97.
[24] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006, hlm. 103.

2 komentar: